Terkait Isu Legalisasi Ganja untuk Medis, Begini Tanggapan Prof Zubairi

30 Juni 2022, 11:56 WIB
Berikut tanggapan Prof Zubairi Djoerban, Ketua Satgas Penanganan Covid-19 Ikatan Dokter Indonesia terkait isu legalisasi ganja untuk medis. /Instagram @profesorzubairi/

BERITA MATARAMAN – Berikut ini tanggapan Prof Zubairi Djoerban, Ketua Satgas Penanganan Covid-19 Ikatan Dokter Indonesia terkait isu legalisasi ganja untuk medis.

Saat ini, isu legalisasi ganja untuk medis menjadi topik yang hangat dibahas. Isu ini pun mendapat tanggapan dari Prof Zubairi di akun Twitternya @ProfesorZubairi.

Diketahui, isu legalisasi ganja untuk medis kembali jadi bahan pembicaraan seorang ibu yang bernama Santi Warastuti membawa sebuah poster bertuliskan, "Tolong anakku butuh ganja medis" beberapa waktu yang lalu.

Menurut Prof Zubairi, bahkan isu legalisasi ganja untuk medis ini telah bergulir sampai ke Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), wakil presiden hingga Majelis Ulama Indonesia (MUI).

Baca Juga: Bukan Hanya Ganja, Kini Thailand Juga Akan Melegalkan Pernikahan Sesama Jenis

Oleh karena itu, Prof Zubairi menjelaskan sangat penting untuk mengetahui tentang ganja medis ini.

Apakah ganja medis aman? Seperti apa penggunaannya? Apakah sudah ada negara yang menyetujui obat ganja? Serta pertanyaan lainnya.

Prof Zubairi menjelaskan bahwa ganja medis legal di sejumlah negara, bahkan ganja yang nonmedis pun legal di sana.

Penggunaan ganja medis haruslah dengan disiplin yang ketat, lanjut Prof Zubairi, karena apabila tidak, akan terjadi penyalahgunaan dan menyebabkan konsekuensi kesehatan bagi yang menggunakan ganja medis tersebut.

"Banyak sekali studi tentang ganja. Beberapa bisa menjadi obat, namun masih banyak juga yang belum diketahui tentang tanaman ini dan bagaimana ia berinteraksi dengan obat lain serta tubuh manusia," tulis Prof Zubairi di akun Twitternya.

Menurut Prof Zubairi, di Amerika Serikat, FDA telah menyetujui satu obat ganja nabati (Epidiolex) yang mengandung cannabidiol murni (CBD) dari tanaman ganja. Obat ini digunakan untuk mengobati kejang serta kelainan genetik langka.

Bahkan, masih menurut Prof Zubairi, FDA juga telah menyetujui dua obat sintetis tetrahydrocannabinol (THC). Obat-obatan ini digunakan untuk mengobati mual pada pasien kanker yang menjalani kemoterapi (antimuntah) dan untuk meningkatkan nafsu makan pada pasien HIV/AIDS.

Meski demikian, lanjut Prof Zubairi, belum ditemukan penemuan jika obat ganja lebih baik, termasuk untuk penyakit kanker dan epilepsi.

Tetapi pada penyakit ini, tulis Prof Zubairi, ganja medis bisa menjadi pilihan atau jalan alternatif agar bisa sembuh. Karena, belum ditemukan juga penyakit yang mengharuskan obat utamanya adalah ganja.

Baca Juga: Sedang Asyik Pesta Ganja, 66 Orang Diamankan Polres Lumajang dan 11 Orang Ditetapkan sebagai Tersangka

Lantas, apakah penggunaan ganja medis bisa memberi efek ketergantungan dan halusinasi?

"Ini bicara soal pengawasan dan dosis berlebihan. Itulah sebabnya penggunaan ganja medis harus sangat ketat oleh dokter yang meresepkannya," tulis Prof Zubairi.

 

"Dosis yang dibutuhkan untuk tujuan medis biasanya jauh lebih rendah daripada untuk rekreasi. Yang jelas, saat pengobatan, pasien tidak boleh mengemudi. Kemudian THC & CBD ini tidak boleh dipakai sama sekali perempuan hamil & menyusui," tambahnya.

Apakah ada penggunaan ganja nonmedis yang aman?

"Para ilmuwan tak punya cukup bukti untuk nyatakan konsumsi dengan cara tertentu lebih aman dari yang lain. Yang jelas, merokok ganja ya merusak paru dan sistem kardiovaskular--sama kayak tembakau. Efek ganja lain bisa Anda cari sendiri," tulis Prof Zubairi.

Bagimana dengan vaping ganja?

"Ini juga menjadi isu. Banyak sekali laporan produk vaping yang mengandung tetrahydrocannabinol (THC) berkaitan dengan cedera paru-paru bahkan kematian," tulis Prof Zubairi.

Menurut Prof Zubairi, studi penggunaan THC dan CBD pada cerebral palsy memang ada. Namun tingkat manfaatnya masih rendah. Sebab itu, ia mengusulkan, ada bahasan khusus untuk menolong buah hati dari Ibu Santi Warastuti oleh para ahli terkait.

"Saya harus benar-benar menimbang, apakah ganja lebih aman daripada obat lain yang akan saya resepkan. Bagaimana kemungkinan interaksi obat, apakah justru memperburuk kecemasan, atau berpotensi menyebabkan gangguan psikotik. Banyak hal," tulis Prof Zubairi.

Baca Juga: Sah! Pemerintah Tetapkan Hari Raya Idul Adha Tanggal 10 Juli 2022

"Yang terang, setiap obat itu memiliki potensi efek samping, beberapa serius, termasuk ganja medis—yang harus diminimalkan. Ketepatan dosis ini krusial untuk menjaga kondisi pasien—sehingga mendapatkan efek obat yang dituju," pungkas Prof Zubairi sambil menuliska ucapan terima kasih.***

Editor: Jumadi

Sumber: Twitter @ProfesorZubairi

Tags

Terkini

Terpopuler