Sementara di dalam negeri, kegiatan perkemahan dan jambore kepanduan juga diadakan di sejumlah tempat.
Di antaranya pada 19-23 Juli 1941 di Yogyakarta berlangsung All Indonesian Jamboree atau “Perkemahan Kepanduan Indonesia Oemoem.”
Pada 27-29 Desember 1945 berlangsung Kongres Kesatuan Kepanduan Indonesia di Surakarta.
Kongres tersebut menghasilkan Pandu Rakyat Indonesia sebagai satu-satunya organisasi kepramukaan di Indonesia.
Namun, ketika Belanda kembali mengadakan agresi militer pada 1948, Pandu Rakyat dilarang berdiri di daerah-daerah yang sudah dikuasai Belanda.
Hal tersebut memicu munculnya organisasi lain, seperti Kepanduan Putera Indonesia (KPI), Pandu Puteri Indonesia (PPI), dan Kepanduan Indonesia Muda (KIM).
Pada perkembangannya, kepanduan Indonesia kemudian terpecah menjadi 100 organisasi yang tergabung dalam Persatuan Kepanduan Indonesia (Perkindo).
Namun, jumlah perkumpulan kepramukaan di Indonesia tidak sebanding dengan jumlah anggota perkumpulan.
Selain itu masih ada rasa golongan yang tinggi, sehingga membuat Perkindo menjadi lemah.
Untuk mencegah hal itu, Presiden Soekarno bersama Sri Sultan Hamengku Buwono IX yang saat itu merupakan Pandu Agung, menggagas peleburan berbagai organisasi kepanduan dalam satu wadah.
Artikel Rekomendasi